Tingkat pengangguran di Indonesia selalu menjadi topik penting yang mencerminkan kondisi ekonomi dan efektivitas sistem pendidikan dalam menyiapkan tenaga kerja. Salah satu fenomena yang menarik perhatian adalah tingginya angka pengangguran di kalangan lulusan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), yang justru dirancang untuk menghasilkan lulusan siap kerja.
Daftar Isi
- Statistik Terkini Berdasarkan Jenjang Pendidikan
- Mengapa lulusan SMK lebih banyak pengangguran dibanding lulusan lainnya?
- Kesiapan Lulusan SMK, SMA, dan Perguruan Tinggi di Dunia Kerja
- Pendidikan vs Keterampilan: Mana yang Lebih Dibutuhkan di Pasar Kerja?
- Stigma dan Persepsi: Apakah Lulusan SMK Dipandang Lebih Rendah?
- Solusi agar lulusan SMK dapat bersaing dengan lulusan lainnya
- Kesimpulan
Dibandingkan dengan lulusan Sekolah Menengah Atas (SMA) dan perguruan tinggi, lulusan SMK menghadapi tantangan yang lebih besar dalam mendapatkan pekerjaan.
Artikel ini akan membahas secara mendalam mengapa lulusan SMK lebih rentan menganggur, bagaimana kesiapan mereka dibandingkan lulusan jenjang pendidikan lainnya, serta apa saja solusi yang dapat diterapkan agar lulusan SMK lebih siap bersaing di dunia kerja.
Statistik Terkini Berdasarkan Jenjang Pendidikan

Dalam memahami fenomena pengangguran, salah satu aspek krusial yang harus ditelusuri adalah pengaruh tingkat pendidikan terhadap peluang kerja. Badan Pusat Statistik (BPS) secara rutin merilis data Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) yang memperlihatkan perbandingan pengangguran berdasarkan jenjang pendidikan terakhir yang diselesaikan.
Data ini penting untuk menilai efektivitas sistem pendidikan dalam menyiapkan lulusannya agar mampu bersaing di dunia kerja. Selain itu, angka pengangguran per jenjang pendidikan juga mencerminkan apakah pasar kerja lebih banyak menyerap tenaga kerja dengan keterampilan spesifik (seperti lulusan SMK) atau lebih memilih tenaga kerja dengan pendidikan akademik yang lebih tinggi (seperti lulusan perguruan tinggi).
Berdasarkan data terbaru dari Badan Pusat Statistik (BPS), berikut adalah Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di Indonesia pada tahun 2024, diurutkan berdasarkan jenjang pendidikan:
- Sekolah Menengah Kejuruan (SMK): 9,01%
- Sekolah Menengah Atas (SMA): 5,83%
- Diploma I/II/III: 4,83%
- Sekolah Menengah Pertama (SMP): 4,11%
- Universitas: 3,42%
- Tidak/Belum Pernah Sekolah/Belum Tamat SD: 2,32%
Data ini menunjukkan bahwa lulusan SMK memiliki TPT tertinggi, diikuti oleh lulusan SMA. Sebaliknya, lulusan universitas dan mereka yang tidak/belum pernah sekolah atau belum tamat SD memiliki TPT yang lebih rendah.
Selain itu, jumlah pengangguran terbuka juga mengalami peningkatan dari 7.194.862 orang pada Februari 2024 menjadi 7.465.599 orang pada Agustus 2024. Peningkatan terbesar terjadi pada lulusan SMA dengan tambahan 185.578 orang dan lulusan SMK dengan tambahan 218.490 orang.
Penting untuk dicatat bahwa meskipun lulusan SMK dirancang untuk siap kerja, tingginya TPT pada kelompok ini menunjukkan adanya kesenjangan antara keterampilan yang dimiliki lulusan dan kebutuhan pasar kerja saat ini.
Hal ini mengindikasikan perlunya evaluasi dan penyesuaian kurikulum serta peningkatan kerja sama antara institusi pendidikan dan industri untuk memastikan lulusan memiliki keterampilan yang relevan dengan kebutuhan dunia kerja.
Mengapa lulusan SMK lebih banyak pengangguran dibanding lulusan lainnya?
Fenomena tingginya tingkat pengangguran di kalangan lulusan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dibandingkan lulusan jenjang pendidikan lainnya menjadi ironi tersendiri. SMK didesain dengan tujuan utama mencetak lulusan yang siap terjun ke dunia kerja, berbekal keterampilan teknis yang langsung bisa diterapkan di industri.
Namun, kenyataan di lapangan justru menunjukkan sebaliknya: lulusan SMK secara konsisten mencatatkan angka pengangguran tertinggi dibanding lulusan SMA, diploma, maupun universitas.
Tingginya tingkat pengangguran di kalangan lulusan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dibandingkan lulusan jenjang pendidikan lainnya merupakan fenomena yang kompleks dan dipengaruhi oleh berbagai faktor.
Berikut adalah penjelasan mendalam mengenai faktor-faktor utama yang berkontribusi terhadap kondisi tersebut:
- Ketidaksesuaian Kurikulum dengan Kebutuhan Industri
Banyak SMK di Indonesia belum menyesuaikan kurikulum mereka dengan perkembangan dan kebutuhan aktual industri. Akibatnya, lulusan SMK seringkali tidak memiliki keterampilan yang relevan dengan permintaan pasar kerja saat ini. - Keterbatasan Fasilitas dan Sumber Daya di SMK Swasta
Banyak SMK swasta menghadapi keterbatasan dalam mengembangkan kurikulum atau meningkatkan kualitas tenaga pengajar sesuai dengan kebutuhan industri, sehingga lulusan mereka kurang kompetitif di pasar kerja. - Kurangnya Pengalaman Kerja dan Keterampilan Praktis
Meskipun program Praktik Kerja Lapangan (PKL) diterapkan, durasi yang terbatas dan kurangnya bimbingan efektif membuat lulusan SMK kurang memiliki pengalaman kerja yang memadai. - Diskriminasi dan Preferensi Industri
Beberapa industri cenderung menjalin kerja sama dengan SMK berkualitas tinggi, sementara SMK dengan kualitas menengah ke bawah sering terabaikan, sehingga lulusan dari sekolah tersebut kesulitan mendapatkan pekerjaan. - Keterbatasan Guru Produktif
Banyak SMK kekurangan guru dengan keahlian teknis yang dibutuhkan industri, sehingga lulusan tidak memiliki keterampilan praktis yang relevan dengan kebutuhan pasar kerja. - Kurangnya Kepercayaan Diri dan Karakter Pribadi
Beberapa lulusan SMK mungkin memiliki kepercayaan diri yang rendah atau karakter pribadi yang kurang sesuai dengan tuntutan dunia kerja, seperti motivasi dan etos kerja yang kurang. - Ketidaksesuaian Jurusan dengan Kebutuhan Daerah
Banyak SMK membuka jurusan yang tidak sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan tenaga kerja di daerahnya, sehingga lulusan kesulitan mencari pekerjaan yang relevan di wilayah mereka. - Kurangnya Standar Kompetensi yang Sesuai dengan Industri
Tidak semua SMK menerapkan standar keahlian yang sesuai dengan standar industri, sehingga lulusan mereka tidak memenuhi kualifikasi yang dibutuhkan oleh dunia kerja. - Perubahan Teknologi yang Cepat
Perkembangan teknologi yang pesat membuat beberapa keterampilan yang diajarkan di SMK menjadi usang, sementara lulusan belum dibekali dengan keterampilan terbaru yang dibutuhkan industri. - Kurangnya Informasi tentang Peluang Kerja
Beberapa lulusan SMK mungkin kurang mendapatkan informasi atau bimbingan mengenai peluang kerja yang sesuai dengan keterampilan mereka, sehingga kesulitan dalam mencari pekerjaan yang tepat.
Kesiapan Lulusan SMK, SMA, dan Perguruan Tinggi di Dunia Kerja
Kesiapan lulusan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), Sekolah Menengah Atas (SMA), dan perguruan tinggi dalam memasuki dunia kerja merupakan aspek penting yang menentukan seberapa cepat dan efektif mereka dapat terserap di pasar tenaga kerja. Setiap jenjang pendidikan memiliki pendekatan yang berbeda dalam membekali siswa dengan keterampilan dan pengetahuan.
Kesiapan lulusan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), Sekolah Menengah Atas (SMA), dan perguruan tinggi dalam memasuki dunia kerja dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk kurikulum pendidikan, pengalaman praktis, dan keterampilan yang dimiliki.
Berikut adalah penjelasan mengenai kesiapan masing-masing lulusan:
Lulusan SMK
- Fokus Pendidikan
SMK dirancang untuk mempersiapkan siswa dengan keterampilan teknis dan praktis yang spesifik sesuai dengan kebutuhan industri. Kurikulumnya menekankan pada pelatihan praktik dan pengalaman langsung di bidang tertentu. - Kesiapan Kerja
Secara teori, lulusan SMK seharusnya lebih siap memasuki dunia kerja segera setelah lulus karena telah dibekali dengan keterampilan praktis. Namun, data menunjukkan bahwa tingkat pengangguran lulusan SMK cenderung lebih tinggi dibandingkan lulusan SMA dan perguruan tinggi. Misalnya, per Agustus 2024, tingkat pengangguran terbuka (TPT) lulusan SMK mencapai 9,01%. - Tantangan
Meskipun memiliki keterampilan teknis, lulusan SMK sering menghadapi tantangan seperti ketidaksesuaian antara keterampilan yang dimiliki dengan kebutuhan industri saat ini, kurangnya pengalaman kerja nyata, dan keterbatasan dalam keterampilan soft skills seperti komunikasi dan kerja tim.
Lulusan SMA
- Fokus Pendidikan
SMA memberikan pendidikan yang lebih umum dan teoritis tanpa spesialisasi pada keterampilan teknis tertentu. Tujuannya adalah mempersiapkan siswa untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. - Kesiapan Kerja
Lulusan SMA mungkin memiliki keterbatasan dalam keterampilan teknis dan praktis yang dibutuhkan oleh industri. Namun, mereka memiliki fleksibilitas untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi atau mengikuti pelatihan tambahan untuk memperoleh keterampilan spesifik. - Tantangan
Tanpa pelatihan tambahan, lulusan SMA mungkin kurang kompetitif di pasar kerja yang membutuhkan keterampilan teknis atau spesifik.
Lulusan Perguruan Tinggi
- Fokus Pendidikan
Perguruan tinggi menawarkan pendidikan yang lebih mendalam dan spesifik dalam bidang tertentu, baik itu ilmu pengetahuan, teknologi, seni, maupun bidang lainnya. - Kesiapan Kerja
Lulusan perguruan tinggi umumnya memiliki peluang kerja yang lebih luas dan jenjang karier yang lebih tinggi. Mereka juga cenderung memiliki penghasilan yang lebih besar dibandingkan lulusan SMK/SMA. - Tantangan
Meskipun memiliki pengetahuan teoritis yang kuat, lulusan perguruan tinggi mungkin memerlukan waktu untuk menyesuaikan diri dengan praktik dan budaya kerja di industri.
Pendidikan vs Keterampilan: Mana yang Lebih Dibutuhkan di Pasar Kerja?
Dalam dunia kerja yang terus berkembang dan semakin kompetitif, muncul perdebatan menarik: apakah pendidikan formal atau keterampilan praktis yang lebih dibutuhkan oleh pasar kerja? Setiap aspek memiliki peran krusial dalam membentuk tenaga kerja yang siap bersaing.
Pendidikan formal, seperti yang diperoleh dari SMA, SMK, atau perguruan tinggi, membangun dasar pemikiran kritis, kemampuan analitis, dan pemahaman teoritis yang mendalam.
Lulusan dengan pendidikan formal cenderung memiliki pemahaman konsep yang lebih luas, yang memungkinkan mereka untuk beradaptasi dalam berbagai situasi dan memecahkan masalah yang kompleks. Selain itu, gelar akademik masih menjadi tolok ukur kompetensi di banyak industri, membuka peluang ke posisi lebih tinggi atau profesional.
Di sisi lain, keterampilan praktis semakin menjadi sorotan seiring dengan perubahan kebutuhan dunia kerja. Perusahaan saat ini tidak hanya mencari individu yang berpengetahuan luas, tetapi juga yang mampu langsung bekerja dan berkontribusi tanpa banyak pelatihan tambahan.
Keterampilan seperti penguasaan teknologi, manajemen proyek, komunikasi efektif, dan pemecahan masalah secara langsung menjadi nilai tambah yang sangat dihargai.
Pentingnya Pendidikan Formal
- Pengembangan Pemikiran Kritis dan Landasan Teori
Pendidikan formal berperan dalam mengasah kemampuan analitis, pemecahan masalah, dan pemikiran kritis. Landasan teori yang kuat memungkinkan individu untuk memahami konsep-konsep kompleks dan menerapkannya dalam berbagai situasi.
Misalnya, pendidikan formal memberikan landasan untuk mengasah keterampilan ini, sehingga individu dapat menjadi lebih siap dan berkualitas untuk menghadapi tantangan di masa depan. - Pengakuan dan Kredibilitas
Gelar akademik seringkali menjadi indikator kompetensi dan komitmen seseorang terhadap bidang tertentu. Banyak perusahaan masih menjadikan ijazah sebagai syarat minimum dalam proses rekrutmen, meskipun tren ini mulai bergeser.
Peran Keterampilan Praktis
- Kesiapan Kerja dan Produktivitas
Keterampilan praktis memastikan individu dapat langsung berkontribusi dalam lingkungan kerja. Pelatihan yang berorientasi pada kompetensi memungkinkan tenaga kerja untuk memenuhi kebutuhan spesifik industri.
Misalnya, kursus dan pelatihan memberikan keterampilan praktis yang berorientasi pada kompetensi, terutama bagi individu berusia 15-25 tahun yang sedang mempersiapkan diri memasuki dunia kerja. - Fleksibilitas dan Adaptabilitas
Di era digital, keterampilan seperti penguasaan perangkat lunak, coding, analisis data, serta soft skills seperti komunikasi dan kerja tim menjadi sangat berharga. Perusahaan cenderung mencari kandidat yang dapat beradaptasi dengan cepat terhadap perubahan teknologi dan dinamika pasar.
Survei LinkedIn tahun 2022 mengungkap bahwa 64 persen perusahaan lebih mengutamakan keterampilan praktis daripada ijazah formal dalam proses perekrutan.
Keseimbangan antara Pendidikan dan Keterampilan
- Integrasi Pendidikan dan Pelatihan
Menggabungkan pendidikan formal dengan pelatihan keterampilan praktis dapat menghasilkan tenaga kerja yang kompeten dan siap bersaing. Pendidikan formal memberikan dasar pengetahuan, sementara pelatihan praktis memastikan keterampilan tersebut relevan dengan kebutuhan industri.
Misalnya, pendidikan berbasis keterampilan mengembangkan siswa melalui praktik langsung pada dunia nyata, memastikan kompetensi mereka sesuai dengan tuntutan pasar. - Pembelajaran Sepanjang Hayat
Dalam menghadapi perubahan teknologi dan industri, individu perlu terus mengembangkan keterampilan baru. Pembelajaran sepanjang hayat menjadi kunci untuk mempertahankan daya saing dan relevansi di pasar kerja.
Pengembangan keterampilan dan pembelajaran sepanjang hayat memastikan tenaga kerja dapat beradaptasi dengan perubahan kebutuhan industri.
Dengan demikian, baik pendidikan formal maupun keterampilan praktis memiliki peran penting dalam mempersiapkan individu untuk memasuki dunia kerja. Kombinasi keduanya akan menghasilkan tenaga kerja yang tidak hanya berpengetahuan luas tetapi juga memiliki kemampuan praktis yang dibutuhkan oleh industri.
Stigma dan Persepsi: Apakah Lulusan SMK Dipandang Lebih Rendah?
Dalam masyarakat Indonesia, persepsi terhadap lulusan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) kerap kali beragam dan cenderung kurang menguntungkan dibandingkan lulusan Sekolah Menengah Atas (SMA) atau perguruan tinggi.
SMK sejatinya dirancang untuk menyiapkan siswa agar siap kerja dengan keterampilan yang lebih praktis dan spesifik sesuai kebutuhan industri. Namun, realitas di lapangan menunjukkan adanya anggapan bahwa lulusan SMK berada di posisi lebih rendah dalam hierarki pendidikan dan dunia kerja.
Stigma ini sering kali berakar dari pandangan lama yang menganggap SMK sebagai "pilihan kedua" bagi siswa yang tidak lolos ke SMA. Selain itu, masyarakat cenderung menilai jalur akademik lebih prestisius dibanding jalur vokasional.
Akibatnya, lulusan SMK kerap dihadapkan pada tantangan ganda: harus membuktikan kompetensi teknis mereka di dunia kerja sekaligus melawan stereotip negatif yang berkembang.
Padahal, di era modern dengan perkembangan industri yang pesat, keterampilan praktis justru sangat dibutuhkan. Sayangnya, persepsi ini masih sulit diubah karena berbagai faktor yang membentuk pandangan tersebut.
Untuk memahami lebih dalam, berikut adalah beberapa faktor utama yang memengaruhi stigma dan persepsi terhadap lulusan SMK.
- Asal Usul Sosial Ekonomi
Banyak siswa yang memilih melanjutkan pendidikan ke SMK berasal dari keluarga dengan latar belakang ekonomi menengah ke bawah. Hal ini menimbulkan anggapan bahwa SMK adalah pilihan bagi mereka yang tidak mampu melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi atau lebih bergengsi. - Pandangan terhadap Pendidikan Vokasional
Masyarakat seringkali menganggap pendidikan vokasional, seperti yang diberikan di SMK, kurang prestisius dibandingkan pendidikan akademik di SMA. Hal ini disebabkan oleh pandangan bahwa pendidikan akademik menawarkan peluang karier yang lebih luas dan bergengsi. - Stigma Gender
Terdapat stigma terkait pemilihan jurusan di SMK berdasarkan gender. Misalnya, jurusan tertentu dianggap lebih cocok untuk laki-laki atau perempuan, yang dapat mempengaruhi persepsi masyarakat terhadap lulusan jurusan tersebut. - Persepsi terhadap Kualitas Lulusan
Masih ada anggapan bahwa lulusan SMK kurang berkualitas dibandingkan lulusan SMA. Stigma ini dapat mempengaruhi kesempatan kerja bagi lulusan SMK dan menurunkan kepercayaan diri mereka dalam bersaing di pasar kerja.
Solusi agar lulusan SMK dapat bersaing dengan lulusan lainnya
Di tengah persaingan ketat dunia kerja, lulusan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) memiliki tantangan tersendiri agar bisa bersaing dengan lulusan SMA dan perguruan tinggi.
Meskipun SMK dirancang untuk membekali siswa dengan keterampilan praktis sesuai kebutuhan industri, kenyataannya masih banyak lulusan SMK yang kesulitan mendapatkan pekerjaan.
Hal ini dipengaruhi oleh berbagai faktor, mulai dari ketidaksesuaian kompetensi dengan kebutuhan pasar, kurangnya pengalaman, hingga stigma negatif dari masyarakat dan dunia kerja.
Untuk meningkatkan daya saing lulusan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) agar setara atau bahkan melampaui lulusan jenjang pendidikan lainnya, diperlukan serangkaian strategi komprehensif yang mencakup berbagai aspek pendidikan dan pelatihan.
Berikut adalah beberapa langkah yang dapat diambil:
- Penyelarasan Kurikulum dengan Kebutuhan Industri
Kurikulum SMK harus dirancang agar sesuai dengan tuntutan industri saat ini. Dengan melibatkan pelaku industri dalam proses perancangan kurikulum, materi yang diajarkan dapat mencerminkan keterampilan dan pengetahuan yang dibutuhkan di lapangan kerja.
Pendekatan ini memastikan lulusan memiliki kompetensi yang relevan dan siap diterapkan. - Pengembangan Keterampilan Praktis melalui Pembelajaran Berbasis Proyek
Menerapkan metode pembelajaran berbasis proyek (Project-Based Learning) memungkinkan siswa untuk mengerjakan proyek nyata yang relevan dengan bidang keahlian mereka.
Pendekatan ini tidak hanya meningkatkan keterampilan teknis tetapi juga mengasah kemampuan problem-solving, manajemen waktu, dan kerja tim. - Peningkatan Kompetensi Tenaga Pengajar
Guru yang kompeten dan up-to-date dengan perkembangan industri sangat penting dalam proses pendidikan.
Pelatihan berkelanjutan, workshop, dan program pengembangan profesional bagi tenaga pengajar akan memastikan mereka dapat mentransfer ilmu dan keterampilan yang relevan kepada siswa. - Integrasi Teknologi dalam Pembelajaran
Pemanfaatan teknologi terkini dalam proses pembelajaran akan mempersiapkan siswa menghadapi dunia kerja yang semakin digital.
Penggunaan perangkat lunak industri, alat teknologi terbaru, serta platform pembelajaran daring memberikan siswa pengalaman praktis yang sesuai dengan perkembangan industri. - Penguatan Keterampilan Soft Skills
Selain keterampilan teknis, soft skills seperti komunikasi, kerja tim, kepemimpinan, dan etika kerja sangat penting bagi lulusan SMK. Pengembangan soft skills ini dapat dilakukan melalui kegiatan ekstrakurikuler, simulasi dunia kerja, dan pelatihan karakter. - Kemitraan dengan Industri dan Program Magang
Menjalin kerjasama dengan industri melalui program magang atau praktek kerja lapangan memberikan siswa pengalaman langsung di dunia kerja.
Selain itu, kemitraan ini dapat membuka peluang kerja bagi lulusan dan memastikan bahwa keterampilan yang diajarkan sesuai dengan kebutuhan industri.
<< Kontak Syabab Camp >>
0895-3536-98866 - Penyuluhan dan Pendampingan Karier
Program bimbingan karier yang mencakup pelatihan wawancara kerja, penulisan CV, dan pengenalan dunia kerja dapat membantu siswa mengatasi tantangan transisi dari pendidikan ke dunia kerja.
SMK juga bisa bekerja sama dengan lembaga penempatan kerja untuk memfasilitasi lulusan dalam mencari peluang kerja yang sesuai dengan keahlian mereka.
Kesimpulan
Tingginya tingkat pengangguran di kalangan lulusan SMK mencerminkan tantangan besar dalam menyelaraskan dunia pendidikan dan kebutuhan industri. Meskipun SMK bertujuan menyiapkan siswa dengan keterampilan praktis, kenyataannya masih banyak lulusan yang belum siap bersaing di pasar kerja.
Untuk mengatasi hal ini, diperlukan perbaikan kurikulum agar lebih responsif terhadap perkembangan industri. Kurikulum harus diperbarui secara berkala sesuai kebutuhan pasar kerja, termasuk integrasi teknologi terkini dan pelatihan keterampilan yang lebih spesifik.
Selain itu, peningkatan kualitas tenaga pengajar melalui pelatihan dan sertifikasi menjadi langkah krusial agar pengajaran lebih efektif dan sesuai dengan standar industri.
Penguatan kerja sama antara SMK dan dunia usaha juga penting. Program magang yang lebih panjang dan intensif, serta pembinaan langsung dari pihak industri, akan memberikan pengalaman nyata bagi siswa. Hal ini akan membantu lulusan tidak hanya memahami teori, tetapi juga siap secara praktis ketika memasuki dunia kerja.
Pengembangan soft skills seperti komunikasi, pemecahan masalah, dan manajemen waktu juga harus menjadi prioritas. Dunia kerja modern membutuhkan tenaga kerja yang tidak hanya terampil secara teknis, tetapi juga mampu beradaptasi, bekerja dalam tim, dan berpikir kritis.
Terakhir, penting untuk membangun kesadaran masyarakat bahwa lulusan SMK memiliki potensi besar dalam mendukung sektor industri. Stigma negatif terhadap lulusan SMK perlu dihilangkan dengan menunjukkan bahwa keterampilan teknis yang mereka miliki adalah aset berharga bagi perekonomian nasional.
Dengan strategi yang menyeluruh dan kolaborasi antara pemerintah, sekolah, industri, dan masyarakat, lulusan SMK berpotensi menjadi tulang punggung tenaga kerja terampil di masa depan.
Jika perubahan ini bisa diwujudkan, lulusan SMK tidak hanya akan mampu bersaing dengan lulusan lainnya, tetapi juga menjadi motor penggerak pembangunan ekonomi yang lebih maju dan inklusif.
You are not authorised to post comments.