Daftar Isi
Lulusan SMK Naik, Industri Kurang Menyerap Tenaga Kerja
Dalam beberapa tahun terakhir, jumlah lulusan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) di Indonesia terus mengalami peningkatan. Namun, ironisnya, peningkatan jumlah lulusan ini tidak sebanding dengan daya serap industri yang masih tergolong rendah. Fenomena ini menimbulkan berbagai pertanyaan mengenai kesesuaian antara kurikulum pendidikan vokasi dengan kebutuhan industri saat ini.
Masalah penyerapan tenaga kerja lulusan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) di Indonesia masih menjadi tantangan besar. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) per Februari 2018, jumlah tenaga kerja lulusan SMK mencapai 14,54 juta dengan tingkat penyerapan 91,08%. Angka ini masih lebih rendah dibandingkan dengan lulusan SD dan tidak lulus SD yang masing-masing memiliki tingkat serapan sebesar 97,09% dan 97,46%.(Sumber)

Data terbaru dari BPS pada 5 November 2024 menunjukkan bahwa tingkat pengangguran terbuka (TPT) lulusan SMK masih tertinggi di antara jenjang pendidikan lainnya, mencapai 9,01%. (Sumber)
Meningkatnya Jumlah Lulusan SMK
Berdasarkan data dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, setiap tahunnya ratusan ribu siswa SMK lulus dan siap memasuki dunia kerja. Program keahlian yang ditawarkan oleh SMK pun semakin beragam, mencakup bidang teknologi, bisnis, kesehatan, hingga pariwisata. Dengan orientasi pendidikan yang berbasis keterampilan, lulusan SMK seharusnya memiliki keunggulan dalam hal kesiapan kerja dibandingkan lulusan sekolah menengah umum.
Tantangan dalam Penyerapan Lulusan SMK
Sayangnya, meskipun jumlah lulusan terus bertambah, industri belum mampu menyerap mereka secara optimal. Beberapa faktor yang menyebabkan rendahnya daya serap industri terhadap lulusan SMK antara lain:
Kesenjangan Keterampilan
Kurikulum SMK sering kali tidak sepenuhnya sesuai dengan kebutuhan industri yang terus berkembang. Akibatnya, banyak lulusan yang masih memerlukan pelatihan tambahan sebelum benar-benar siap bekerja.
Kurangnya Program Magang yang Efektif
Program magang yang merupakan bagian dari pendidikan vokasi belum optimal dalam membekali siswa dengan pengalaman dunia kerja yang relevan. Beberapa perusahaan bahkan enggan menerima siswa magang karena keterbatasan fasilitas dan tenaga pendamping.
Persaingan dengan Lulusan Perguruan Tinggi
Banyak perusahaan lebih memilih lulusan perguruan tinggi dibandingkan lulusan SMK, terutama untuk posisi yang membutuhkan keterampilan teknis dan manajerial lebih lanjut.
Minimnya Kerja Sama antara Sekolah dan Industri
Keterlibatan industri dalam penyusunan kurikulum dan pelatihan di SMK masih terbatas. Hal ini menyebabkan lulusan SMK kurang memiliki kompetensi yang sesuai dengan kebutuhan tenaga kerja saat ini.
Kurangnya Kepercayaan Diri dan Keterampilan Lulusan
Kendati sudah “disuntik” dengan berbagai kebijakan yang memperbesar link and match lulusan dengan dunia kerja oleh pemerintah, lulusan SMK di beberapa daerah seperti Kalimantan Tengah masih belum bisa lepas sepenuhnya dari status pengangguran. Menganggurnya lulusan SMK ini disinyalir terjadi karena minimnya keterampilan, kepercayaan diri lulusan yang rendah, hingga kurangnya kepercayaan pemberi kerja terhadap lulusan SMK.
Ketua Musyawarah Kerja Kepala Sekolah SMK (MKKS) Kalteng, Ahmad Arifin, mengungkapkan bahwa belum semua lulusan SMK mau bekerja, meskipun pendidikan mereka dirancang untuk langsung masuk ke dunia kerja. Faktor yang membuat lulusan SMK enggan bekerja bukan karena minimnya lowongan pekerjaan, tetapi karena kurangnya kepercayaan diri untuk bersaing di dunia kerja. (Sumber)
Selain itu, lulusan SMK juga sering mengalami kesulitan beradaptasi dengan lingkungan kerja yang dinamis. Banyak yang tidak siap merantau atau bekerja di sektor industri tertentu seperti perkebunan dan pertambangan meskipun peluang kerja tersedia.
Pemerhati ketenagakerjaan Ade Hanie mengatakan, para lulusan SMK belum mampu bersaing dalam Revolusi Industri 4.0 karena praktik belajar mereka masih lebih berorientasi pada nilai akademis ketimbang keahlian praktis. Hal ini menyebabkan industri kesulitan menyerap tenaga kerja dari SMK. (Sumber)
"Lulusan SMK usianya rata-rata 17-18 tahun sehingga menyulitkan perusahaan menghadapi mereka. Menghadapi yang lulusan perguruan tinggi saja susah apalagi yang usianya antara anak baru gede dan remaja," ujarnya di Jakarta, Kamis (14/3/2019). (Sumber)
Pada tahun 2017, Ade yang juga psikolog industri dan organisasi, bekerja sama dengan Jojoba mengadakan tes psikometrik untuk menakar kompetensi lulusan SMK. Hasilnya menunjukkan bahwa rata-rata lulusan SMK lemah dalam 12 kompetensi soft skill, terutama dalam perencanaan, evaluasi, kepemimpinan, komunikasi, dan kemampuan memengaruhi orang lain. Ia juga menilai bahwa lulusan SMK di Indonesia kurang percaya diri karena sekolah jarang memberikan ruang untuk bereksplorasi. (Sumber)
Dari hasil tes tersebut, Ade menemukan bahwa banyak lulusan SMK lebih tertarik pada pekerjaan administrasi, office, dan sales dibandingkan dengan sektor teknologi informasi. Kompetensi yang Harus Dimiliki Lulusan SMK
Wakil Ketua Umum Bidang Ketenagakerjaan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Darwoto mengatakan, penyerapan lulusan SMK masih minim karena masalah link and match yang rendah. "Penyerapan tenaga kerja oleh dunia usaha saat ini dilakukan hanya kepada mereka yang dinilai sudah siap kerja. Namun, tidak semua lulusan SMK punya kompetensi sesuai kebutuhan dunia usaha,” ujarnya di Jakarta, dikutip dari Kompas.id, Selasa (6/2/2024). (Sumber)
Menurut Darwoto, payung hukum Perpres Nomor 68 Tahun 2022 sudah menjadi koridor yang baik untuk menyelaraskan pasokan tenaga kerja yang dicetak pendidikan vokasi dengan kebutuhan industri. Namun, pada tataran implementasi peraturan, koordinasi antara pemerintah, lembaga pendidikan, dan dunia usaha masih kerap menemui hambatan. (Sumber)
Terdapat tiga kompetensi penting yang harus dikuasai oleh calon tenaga kerja, yakni keterampilan (skill), pengetahuan (knowledge), dan perilaku (attitude). Sayangnya, Darwoto melanjutkan, kebanyakan penyelenggara pendidikan vokasi terlalu berfokus pada pembentukan keterampilan calon tenaga kerja. Padahal, knowledge dan attitude juga merupakan bekal penting untuk kematangan cara bekerja di industri. (Sumber)
"Kalau attitude sudah terbentuk dengan baik, juga dengan bekal skill dan knowledge yang mumpuni, kemampuan adaptasi tenaga kerja terhadap perubahan dan perkembangan di sektor industri yang berlangsung cepat akan semakin baik," tuturnya.
Solusi untuk Meningkatkan Penyerapan Lulusan SMK
Untuk mengatasi masalah ini, berbagai langkah perlu diambil oleh pemerintah, sekolah, dan industri agar lulusan SMK dapat lebih terserap di dunia kerja. Beberapa solusi yang dapat diterapkan meliputi:
Penyelarasan Kurikulum dengan Kebutuhan Industri
Pemerintah dan sekolah perlu bekerja sama dengan industri dalam menyusun kurikulum yang lebih relevan dan adaptif terhadap perubahan teknologi dan pasar kerja.
Peningkatan Program Magang
Program magang harus diperkuat dengan melibatkan lebih banyak perusahaan dan memastikan siswa mendapatkan pengalaman langsung yang dapat meningkatkan keterampilan kerja mereka.
Sertifikasi Kompetensi
Meningkatkan jumlah sertifikasi keahlian bagi lulusan SMK dapat menjadi nilai tambah agar mereka lebih kompetitif di pasar tenaga kerja.
Peningkatan Kemitraan dengan Dunia Usaha dan Industri
Sekolah perlu aktif menjalin kerja sama dengan perusahaan untuk menciptakan peluang kerja dan program pelatihan yang lebih efektif.
Pembinaan Karakter dan Kesiapan Mental
Lulusan SMK perlu dibekali dengan karakter kerja yang baik, seperti disiplin, kepemimpinan, dan kepercayaan diri agar siap menghadapi persaingan di dunia kerja.
Penyesuaian Kompetensi Keahlian dengan Kebutuhan Industri
Banyaknya lulusan dari jurusan yang tidak sesuai dengan kebutuhan industri di daerah menyebabkan ketidakseimbangan tenaga kerja. Oleh karena itu, pembukaan jurusan di SMK harus memperhitungkan peta kebutuhan tenaga kerja lokal.
Dengan langkah-langkah strategis ini, diharapkan lulusan SMK tidak hanya meningkat secara jumlah, tetapi juga lebih siap dan terserap di dunia kerja. Sinergi antara dunia pendidikan dan industri sangat penting untuk memastikan lulusan SMK dapat berkontribusi optimal dalam perekonomian Indonesia.
Strategi Pemerintah dalam Mengatasi Pengangguran Lulusan SMK
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy mengatakan, untuk menekan angka pengangguran di Tanah Air khususnya pada lulusan SMK, pihaknya sudah menyiapkan beberapa strategi. Salah satunya dengan meningkatkan kualitas belajar mengajar. (Sumber)
Dia mengatakan, dengan kualitas pembelajaran yang baik maka siswa akan memperoleh keterampilan dasar, kemampuan untuk berpikir kritis. Selain itu siswa juga akan memahami nilai-nilai dan karakter untuk menjadi warga yang produktif dan pembelajar. (Sumber)
“Kemudian kedua, upaya percepatan melalui penargetan dan strategi kompensasi kepada anak-anak miskin untuk mengurangi ketimpangan akses ke pendidikan yang berkualitas di daerah secara sistematik, sehingga mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil, dan harmonis,” kata dia dalam diskusi Forum Merdeka Barat mengenai Pengurangan Pengangguran. (Sumber)
Strategi selanjutnya, dengan memperkuat pelatihan vokasi dan life skill di semua tingkat. Ini dilakukan untuk mengembangkan angkatan kerja yang fleksibel dan terlatih dengan atribut personal, keterampilan dasar, dan kompetensi TIK. (Sumber)
Sehingga vokasi yang dicanangkan para lulusan SMK siap kerja mendukung pertumbuhan ekonomi dan pembangunan nasional. (Sumber)
Di sisi lain, upaya pengembangan visi dan pola pikir guru dan tenaga pendidik, juga menjadi penting guna menuju peningkatan kualitas pendidikan yang kreatif dan berkesinambungan. Kemudian stragi lain yakni dengan mewujudkan pemeritah yang terintegrasi untuk peningkatan capaian pendidikan. (Sumber)
“Sedangkan strategi terakhir adalah merintis kemitraan baru dengan penyelenggara pendidikan, baik perusahaan publik maupun swasta untuk meningkatkan kualitas pendidikan melalui kinerja berbasis pembiayaan dan akuntabilitas yang lebih baik,” pungkasnya. (Sumber)
Muhadjir menyebut secara prosentase tingkat pengangguran terbuka pun terus menurun bagi lulusan SMK. Tercatat, jika pada 2016 sebesar 9,84 persen, pada 2018 menjadi 8,92 persen. (Sumber)
“SMK merupakan tingkat pendidikan yang persentase penurunan pengangguran terbukanya selalu turun setiap tahunnya,” ujarnya. (Sumber)
Capaian tersebut, tentu saja tidak terlepas dari kuatnya komitmen pemerintah untuk mengurangi pengangguran. Termasuk, melalui Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 9 Tahun 2016 Tentang Revitalisasi SMK dalam Rangka Peningkatan Kualitas dan Daya Saing Sumber Daya Manusia Indonesia. (Sumber)
Kesimpulan
Bahwa meskipun jumlah lulusan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) di Indonesia terus meningkat setiap tahunnya, tingkat penyerapan mereka di dunia kerja masih rendah. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa tingkat pengangguran terbuka (TPT) lulusan SMK masih menjadi yang tertinggi dibandingkan jenjang pendidikan lainnya. Hal ini mengindikasikan adanya permasalahan serius dalam kesesuaian antara pendidikan vokasi dan kebutuhan industri.
Beberapa faktor utama yang menyebabkan rendahnya daya serap lulusan SMK di dunia kerja antara lain kesenjangan keterampilan, kurang efektifnya program magang, persaingan ketat dengan lulusan perguruan tinggi, serta minimnya kerja sama antara sekolah dan industri. Kurikulum di SMK sering kali tidak selaras dengan kebutuhan dunia usaha yang terus berkembang, sehingga lulusan masih memerlukan pelatihan tambahan sebelum benar-benar siap bekerja. Selain itu, banyak perusahaan lebih memilih lulusan perguruan tinggi karena dinilai lebih memiliki keterampilan teknis dan manajerial yang lebih baik.
Masalah lainnya adalah kurangnya kepercayaan diri dan keterampilan soft skill di kalangan lulusan SMK. Beberapa lulusan masih ragu dalam memasuki dunia kerja karena kurangnya kesiapan mental dan kepercayaan diri, terutama dalam menghadapi lingkungan kerja yang dinamis dan kompetitif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa banyak lulusan SMK lemah dalam aspek perencanaan, evaluasi, komunikasi, kepemimpinan, serta kemampuan memengaruhi orang lain.
Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan berbagai solusi dan strategi yang melibatkan berbagai pihak, termasuk pemerintah, sekolah, dan dunia industri. Penyelarasan kurikulum dengan kebutuhan industri menjadi langkah penting agar lulusan memiliki keterampilan yang relevan dengan dunia kerja. Program magang juga perlu diperkuat agar siswa mendapatkan pengalaman langsung di industri sebelum lulus. Selain itu, sertifikasi kompetensi dapat menjadi nilai tambah bagi lulusan agar lebih kompetitif di pasar tenaga kerja.
Kemitraan antara sekolah dan dunia usaha juga perlu ditingkatkan agar pendidikan vokasi benar-benar menghasilkan tenaga kerja yang siap pakai. Sekolah harus aktif menjalin kerja sama dengan perusahaan dalam penyusunan kurikulum, pelatihan, dan perekrutan tenaga kerja. Di sisi lain, pembinaan karakter dan kesiapan mental juga harus menjadi fokus utama dalam pendidikan SMK. Selain keterampilan teknis, lulusan perlu dibekali dengan disiplin, kepemimpinan, komunikasi, dan kepercayaan diri agar siap menghadapi tantangan di dunia kerja.
Pemerintah telah mengambil langkah-langkah strategis untuk mengatasi pengangguran lulusan SMK, termasuk peningkatan kualitas pembelajaran, penguatan pelatihan vokasi, serta menjalin kemitraan dengan dunia industri. Melalui kebijakan seperti Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 9 Tahun 2016 tentang Revitalisasi SMK dan Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2022, pemerintah berupaya meningkatkan kualitas dan daya saing lulusan SMK.
Dengan sinergi yang kuat antara pendidikan vokasi, dunia usaha, dan pemerintah, diharapkan lulusan SMK dapat lebih mudah terserap di dunia kerja dan berkontribusi terhadap pembangunan ekonomi Indonesia. Jika berbagai tantangan ini dapat diatasi secara efektif, maka lulusan SMK tidak hanya meningkat dalam jumlah, tetapi juga dalam kualitas, sehingga dapat memenuhi kebutuhan industri yang terus berkembang.
You are not authorised to post comments.